GERIMIS DIUJUNG SENJA
Wiko Antoni
Episode 1
Episode 1
Minggu
ini seperti mingu kemarin masih kuulangi perjalanan di hamparan aspal ini.
Sudah beberapa kali kalender mencabik akhir Desember. Jalan ini hamper saja aku
hafal dimana tikungan tanjakan dan jalan menurun. Nama desa yang ditempuhpun
hampir di luar kepala. Ya, kadang jalan ini kutempuhi dalam keadaan hujan,
terik, dinihari, senja bahkan pernah diujung perjalananku malam menyelimutinya.
Inilah aku, aku yang diriku sendiri tak mengerti mengapa bahagia menjalani cara
hidup seperti ini. Rantau Suli-Bangko 144 KM, Bangko Rantau Panjang 34 KM. itu
jalur rutinku setiap minggu dan aku asyik dengan perjalanan itu walaupun sepeda
motorku kalau pandai bicara akan mengeluh letih karenanya.
Banyak
berita tentang jalur yang kutempuh ini mulai dari rawan tindak kekerasan.
Kriminalitas hingga soal hantu. Yang bagian kedua ini memang menggelikan dan
tak masuk akal namun sebagai manusia kadang aku terfikir juga bila tiba-tiba
cerita mistik yang seram dan tak kupercayai itu akan terjadi padaku, terutama
bila aku mengendarai motor sendirian saat malam hari atau senja.
Dalam
perjalanan senja ini aku memasuki kawasan TNKS yang dulunya hutan lebat, namun
kini sudah mulai rusak oleh penebangan liar. Aku mulai was-was kalau-kalau
memasuki Muara Maderas nanti aku kemalaman, apalagi desaku Rantau Suli tentu
sudah larut. Kini kabut mulai menebal bersama sinar mentari yang kian remang
sebentar lagi hujan akan turun. Dingin kian terasa menyengat tubuhku. Aku terus
memacu motorku walaupun dalam bayangan cerita-cerita horror yang mistis
perjalananku.
Sebagai
upaya menghibur diri aku bernyanyi dengan suara lantang, maklum jalan sepi ini
memungkinkan aku berteriak sesuka hatiku namun bila ada yang melihat yang aku
lakukan ini tentulah mereka menganggap perbuatanku ini tidak waras, namun aku
tak peduli yang terpenting adalah ketakukanku akan bayangan cerita-cerita seram
yang horror itu bisa kuhapus dari kepalaku.
Lagu demi
lagu kunyanyikan, melewati tikungan gelap, tanjakan, jalan menurun hingga jalan
lurus. Gerimis mulai terasa menerpa wajahku, lampu sepeda motorku tak mampu
menembus kabut tebal. Syukurlah akhirnya daerah sepi itu berlalu, aku memasuki
perkebunan rakyat yang mayoritas dihuni petani penggarap dari Seulak Gedang,
sebuah kampong di Kerinci. Tak lama aku memasuki Desa Renah Alai, Redup lampu
berasal PLTA yang cahanya terhalang kabut tersenyum padaku. Aku berhenti
sejenak meraba saku dan mengeluarkan HP
kulirik Jam dari layar HP tersebut terlihat tulisan menunukkan pukul 17.
30. Sudah dapat aku bayangkan aku akan mencapai desaku sekitar satu atau satu
setengah jam lagi, aku akan sampai dirumah lebih dari jam 16.30. kurasa itu tak
begitu malam disbanding beberapa bulan yang lalu dimana aku tiba dirumahku
pukul 22.00.
Kembali
kupacu sepeda motorku, aku masuki wilayah Danau Pauh, Koto Jayo terlewati,
Lubuk Pungguk, Muara Maderas. Kini tiba diwilayah yang katanya dihuni “mahkluq
Ghaib” Bukit Melintang yang dilerengnya tercacaktower
Telkomsel.
Memasuki
daerah ini kabut kian menebal, sepeda motorku mendaki menuju puncak tanjakan
Bukit Melintang ini, gerimis kian deras, kabut kian tebal jarak pandangpun tak
cukup sepuluh meter. Cerita horror itu mengusik kepalaku,
“dulu mbo pernah rusak mobil dekat tower,
waktu mbo mukul baut, dari puncak
bukit terdengar pula ada yang mukul sama persis seperti pukulan mbo.” Begitu cerita Ngah Nafli seorang
supir Truk yang masih kerabat denganku.”
“Mbodulu pernah dengar suara perempuan
tertawa ditikungan menjelang puncak tanjakan Bukit Melintang, waktu itu motor mbo rusak dan mbo terpakasa mendorongnya sampai Koto Renah. Saking takutnya mbo lari ke Koto Renah dan mengajak
orang menemani mbo menjemput motor mbo malam itu.” Demikian cerita Pak Su Sobri.
Cerita-cerita
itu bermain difikiranku hingga motorku memasuki Tikungan Puncak Tanjakan Bukit
Melintang. Bulu kudukku berdiri, degup jantungku mengencang. Bahkan dalam
kedinginan kurasa keringatku bercucuran disekujur tubuhku. Kupacu motorku dalam
persaan kacau balau dan…
Apa itu…
kulihat sesuatu disorot cahaya lampu motorku, samar dihalangi kabut, jantungku
berdegup kian keras, bayangan hitam dan…
“Stop!
Stop!, Tolong tarik motor mbo, motor mbo tiba-tiba mati.” Kata seseorang yang
berdiri ditengah jalan.
kini
kulihat seorang lelaki tua basah kuyup berdiri kedinginan, sepertinya aku tak
kenal orang ini sama sekali, hantu kah? Ah tidak. Kulihat kakinya tepat
menginjak tanah, ini manusia.
“Mana
motor bapak?” tanyaku sambil berusaha meredakan rasa takutku.
“Itu.”
katanya sambil menyenter ke pinggir jalan
“Baiklah
pak, kita cari tali.” Ucapku.
Sesaat
kulihat orang itu memasuki semak-semak kemudian membawa seutas tali yang dibuat
dari kulit batang sebaru. Segera
diikatkannya tali tersebut pada motornya dan pada bagian belakang motorku.
Setelah
siap segera kupacu motorku dengan posisi menarik motor lelaki tua tersebut.
Sampai di
Koto Renah aku berhenti dan bertanya kemanakan tujuan lelaki tua tersebut
ternya beliau hendak ke Dusun Mudo. Karena malam itu tidak ada bengkel yang
buka maka aku mengantarkan beliau ke Dusun Mudo. Dari Koto Renah akan melewati
Koto Teguh barulah akan sampai di desa tersebut sayangnya mengantar beliau
berarti menyimpang dari tujuanku karena seharusnya aku belok kiri menuju Dusun
Baru untuk kemudian sampai didesaku Rantau Suli, namun aku harus masuk ke
menyimpang ke kiri untuk menju Dusun mudo, padahal hari kian larut, namn hatiku
senang juga karena setelah Koto Renah ini ada sebuah tikungan menurun yang
diikuti tanjakan panjang yang sepi sebelum memasuki Koto Renah dan tempat itu
penuh cerita horror juga, minimal aku punya teman melewati tempat tersebut,
dan…itung-itung cari amal demi kemanusiaan…
Sampai di
Dusun mudo aku berfikir langsung melanjutkan perjalanan ke Rantau Suli,
ternyata orang tua itu mengajak aku singgah di rumahnya, dan untuk
menghilangkan letih akupun menerima tawaran beliau.
Mula-mula
orang tua itu mempersilahkan aku duduk, kemudian beliau membawakan aku baju
kering katanya milik menantunya. Aku senang saja, kupakai baju itu, lalu
istrinya keluar dari pintu dapur membawakan kopi hangat, dan… ei siapa itu,
seorang wanita berusia sekitar dupuluhan tahun keluar dari kamar dan tersenyum
padaku, cukup cantik juga diterangi cahaya redup neon PLTA. Wajahnya
memancarkan pesona luar biasa,hidup yang mancung, bibir tipis dan bola mata
yang khas. Aku membalas senyumannya sekenanya.
Aku dan
bapak itu berbincang-bincang persoalan jalan yang katanya “angker” bapak itu
tersenyum saja dan membantah kebenaran cerita yang aku katakana itu. Ia
menjelaskan itu hanya isu. Selama ia menempuh pendakian dan penurunan dekat tower
Bukit Melintang tak pernah ia mengalami kejadian horror juga ketika menuruni
dan mendaki tanjakan nyelai sebelum
koto teguh. Bahkan ia pernah melewati tempat tersebut jam tiga malam. “itu
hanya cerita saja” ungkapnya.
Pukul dua
belas aku berniat pulang, walaupun tuan rumah melarang, aku bersikeras, karena
tak enak tidur di rumah orang yang baru aku kenal. Bahkan si “manis mempesona”
juga berbasa basi menahanku. Entah mengapa setiap kalimat yang dikeluarkan
wanita itu merdu sekali kedengarannya. Tapi aku tetap berniat pulang.
Setelah
berterima kasih atas pelayanan mereka aku memacu motorku, setiba dijalan dekat
halaman rumah aku dicegat seorang lelaki sebayaku. “Mau Pulang ke Rantau Suli
mala mini bang!” kata lelaki tersebut, kulihat raut wajahnya dingin tanpa
ekspresi namun cukup tampan juga dengan kumis tipis yang rapi.
“Iya,
nggak enak bermalam disini. Merepotkan saja nanti.’ Kataku.
“Lebih
baik aku temani.” Kata lelaki tersebut dengan ekspresi masih dingin.
“Tidak
usah aku bisa sendiri.” Kataku.
“Ini sudah
malam, abang bukan orang asli daerah sini, baiknya aku temani.” Katnya dengan
senyuman yang kulihat juga tanpa ekspresi.
“Baiklah,
nanti abang pulangnya pakai apa.” Kataku.
“itu
motorku.” Katanya menunjuk motor yang diparkir dipinggir jalan. Sumpah aku tadi
tak melihat motor itu, sebuah motor besar model baru yang banyak dipakai anak
muda sekarang.
“Baiklah,
nanti singgah dirumahku. Oh ya nama abang siapa?” tanyaku.
“Kardi.”
Katanya singkat.
“Aku
Kembara” ujarku mengurkan tangan. Dan… ah dingin dan kaku tangan orang ini
bisik hatiku. Dengan berusaha menghilangkan kagetku. Kulepas jabatan tangannya.
“ayo
berangkat.” Kataku.
Lelaki
itu menaiki motornya, ia didepan dan aku dibelakang, perjalan terasa
menyenangkan karena aku merasa ada kawan, Koto Teguh terlewati, Dusun Baru
dilalui, Simpang Talang Tembago berlalu sampailah didesaku, Rantau Suli, tepat
beberapa meter menjelang rumahku aku ingin berteriak untuk memberitahu bahwa
didepan adalah rumahku, tapi motor didepanku lenyap.
Kuinjak
rem motorku, kutatap kedepan, tak ada, memang tak ada, jadi kemana motor yang
sejak tadi berada didepanku, aku tertegun, bulu kudukku merinding, dengan
terburu-buru aku memacu motorku menuju rumahku.
Sampai
dirumah, aku memanggil istriku dengan tergesa-gesa, nafasku memburu keringat
dingin membahasahi pipi, aku tak bicara apa-apa kemudian berbaring walau
kudengar istriku banyak berbicara dan bertanya namun sepertinya tak jelas
ditelingaku dan…
“Baliklah
kerumah, besok atau lusa mainlah lagi ke Dusun Mudo.” Kardi berdiri dihalaman
rumah megah.
“Maksudmu
apa!” kataku heran.
“lihat
dia.” Kata kardi menunjuk seorang wanita.
Aku
terkejut aku melihat wanita cantik yang tadi tersenyum dan berbasa-basi padaku
duduk memegang kain putih sampil menangis sehingga air matanya memabasahi kain
putih tersebut.
“Kau
harus membuatnya berhenti menangis, kembalikan baju itu secepatnya.” Kata
kardi.
“tapi…”
“Bang!”
terdengar suara istriku. Aku tersentak ternyata tidurku yang sekejap telah
dihiasi mimpi yang amat buruk.
“Ini ada telepon.” Istriku menyerahkan Hp.
Kuangkat
telepon terdengar suara lembut dan manja,
“Bapak
suruh Tanya, abang sudah sampai rumah apa belum.” Kata suara merdu dari
telepon.
Kulihat
nama yang tertera di HPku tertulis Pak Muasman, ya itu adalah nama lelaki tua
yang motornya kutarik dari pendakian Bukit Melintang sampai Dusun Baru tadi dan
suara ini, pastilah wanita yang senyumnya menikam jantungku itu, ternyata
wanita ini adalah anak lelaki tua tersebut.
“Su ssudah, salam buat bapak!” kataku terkesima
membayangkan wajahnya yang sungguh memikat hati.
“hei!’
kata istriku sambil menepuk bahuku.
“ei iya
ada apa!” kataku kaget.
“Kenapa
melamun, suaranya seperti perempuan.” Istriku menatap penuh selidik.
“taka
apa-apa itu anak seorang yang tadi aku tolong saat motornya rusak, dia mau
Tanya apa aku baik-baik saja sampai dirumah.” Jawabku jujur namun dengan hati
berbohong. Bibirku jujur karena menjelaskan faktanya dengan benar hatiku bohong
karena aku mulai terbayang senyuman wanita muda itu. Ya bukan hanya terbayang
sepertinya aku mulai merindukannya dan..ah tidak mungkin aku adalah seorang
laki-laki beristri mana mungkin jatuh cinta pada wanita yang baru kulihat
sekali pada malam buta pula. Apa aku sudah gila bisik hatiku.
“Istirahat
ya bang!” terdengar suara dari Hp. Lembut bak alunan buluh perindu.
“Ya,
selamat malam!” kataku saat melihat tatapan tajam istriku. Aku segera mematikan
telepon dan memejamkan mata tapi. Ah saat mataku terpejam wajahnya kian jelas
terlihat, hidungnya, bibirnya, pipinya wajahnya yang oval, bibir ah… aku telah
terpesona bagai remaja dimabuk cinta.kurasakan selimut menyentuh seluruh
tubuhku.
“Istirahatlah,
abang berkeringat, sepertinya abang demam.” Kata Istriku yang kudengar saat
wajah wanita yang mengganggu fikiranku itu terhampar dimataku yang terpejam.
Waktu
berlalu, mata enggan terlelap, senyum itu, suara itu..aku gelisah, rasa ingin
melihat wajahnya. Ingin berbincang-bincang dengannya, dan. Ooo istriku sudah
tertidur pulas disampingku. Dan aku lupa memikirkannya. Lelaki yang tadi
menuntunku dengan motor, kemana perginya. Tapi aku enggan memikirkan keanehan
itu aku asyik dengan bayangan wanita muda yang mempesona, mungkin aku telah
jatuh cinta, mengapa rasanya bagaikan remaja lagi?
Waktu
berlalu bersama bayangan-bayangan yang kusembunyikan. Tiba saatnya aku kembali
menjalani rutinitas mingguan, ke Bangko menempuh ratusan kilometre yang
membosankan dan, kali ini aneh, aku begitu bersemangat. Begitu enerjik. Ada apa
ini. Barangkali karena aku berencana mengembalikan baju yang dipinjamkan padaku
ini. Ya pasti karena aku mendapat peluang melihat lagi wajah itu. Wajah yang
terus menghiasi lamunan dan bermain-main dipelupuk mataku.
Setelah
berpamitan dengan istriku kupacu motorku. Tujuanku yang pertama adalah Dusun
Mudo. Aku berniat mengembalikan baju yang dipinjamkan. Sampai di Koto Teguh aku
berbelok menuju Dusun Mudo dan berangkat menuju rumah pak Muasman. Sesampai
dihalaman rumah terlihat sepi. Aku naik tangga. Rumah didaerah ini adalah rumah
panggung, berkali-kali kucapkan salam tak ada jawaban. Akhirnya aku turun dan
berniat mengembalikan baju itu besok saja saat aku akan memacu motorku dari
arah dalam rumah terdengar suara yang sangat merdu memanggilku, ternyata wajah
yang kurindukan itu telah berdiri serambi rumah panggung. Tersenyum dan
melambaikan tangannya dengan ekspresi ceria.
Ah..
betapa cantiknya perempuan ini,kulihat pakaiannya sepertinya bukan pakaian
sehari-hari begitu rapid an masih sangat baru, rambut yang tertata rapi, pupur
tipis diwajah dan gincu merah muda di bibir…ini siang, semuanya jelas. Bahkan
ia terlihat sepuluh kali lebih cantik daripada malam saat ia tersenyum didepan
pintu kamarnya.
“Naiklah
kerumah bang!” katanya tutur berirama, khas gaya irama bahasa desa Dusun Mudo.
Aku turun
dari motorku. Kulangkahkan kakiku kea rah rumah, entah mengapa jantungku
berdetak keras. Bahkan matanyapun tak sanggup aku tantang, mataku silau oleh
bening sinar matanya. Sepertinya aku menantang sinar mentari bila harus
bertentang mata dengannya. Sesampaiku didepan tangga kuulurkan baju yang ingin
kukembalikan.
“Ini
pakaian kemarin, aku berterima kasih sekali.” Kataku sekenanya.
“Naiklah
bang, biar aku siapkan minuman.” Kayanya lembut.
“Aku
buru-buru mau ke Bangko.” Maaf aku tak bisa singgah.
“Siapa
nama abang!” kudengar ia mengucapkan kalimat yang membuat tubuhku bergetar.
“apa
bapak belum memberitahu padamu.” Kataku agak tersekat.
“Belum
bang.” Katanya sambil tersenyum nakal.
Aduh,
bibir yang dikulum itu, senyum nakal dengan ekspresi tubuh yang menantang itu.
Aku runtuh, seolah mentari kehilangan cahayanya sekarang semua sinar sang surya
telah berpindah kewajah wanita ini. Ah aku bisa gila kalau begini.
“katakana
dulu namamu.” Kataku datar.
“Maryati,
sekarang katakana nama abang.” Katanya sambil tersenyum dan kembali mengulm
bibirnya dan berdiri dengan pose menantang dan nakal. Bahkan pakaian kebaya
panjang yang ia pakaipun tak mampu menutupi betapa seksi dan menariknya dirinya
pada posisi tersebut. Tubuhnya terlihat sintal, panggul yang sedang, dada yang
ideal dengan pinggang yang ramping dan lekuk tubuh yang indah. Aku makin jauh
masuk perangkap pesonanya.
“Di Hp
bapak ada namaku, lihat saja disana.” Kataku menyembunyikan ketertarikanku
padanya yang tak terbendung.
“Kembara
ya.” Katanya sambil menatap nakal.
“Baik aku
pergi dulu.” Kataku.
“Boleh
aku simpan nomor abang di HP aku?” katanya manja.
Aku
kaget. Apakah aku bermimpi? Apakah yang kudengar ini nyata. Ah ini benar-benar
nyata.
“bo..boleh.”
kataku gugup.
“Naiklah
kerumah, minum dulu, buatkan kopi yang paling enak untuk abang, kalau tidak
buang saja baju yang abang bawa itu dihalaman.” Katanya sambil melirik nakal
kemudian masuk kedalam rumah.
Aku naik
kerumah. Kulihat tak ada siapapun diruang tengah ini, aku duduk tanpa menunggu
dipersilahkan. Tak lama wanita yang mengenalkan dirinnya bernama Maryati ini
membawakan aku segelas kopi hangat. Ia duduk dekat sekali denganku sehingga aku
semakin gugup.
“Minumlah
bang.” Katanya dengan suara mendesah yang dibuat-buat. Desahan ini membuat aku
kian tak berdaya menahan kenyataan bahwa aku mulai tergila-gila padanya.
Ku
seruput kopi hangat yang diberikannya. Sungguh nikmat sekali kopi tersebut.
Kutatap wanita tersebut. Masih saja ia mengulum bibir. Senyum manis dan tatapan
yang membuat aku kian tergila-gila. Bila tak ingat dosa ingin rasanya segera
kupeluk wanita ini. Sungguh aku sudah lupa daratan. Kecantikannya, sikapnya
yang manja dan sederet kekaguman lain menguasai perasaanku padanya.
“Itu kopi
kami olah sendiri bang. Aku yang menggoreng dan menumbuknya.” Ucapannya
membuatku kaget.
“a.. iya
enak sekali rasanya.” Ujarku sekenanya.
“Oh ya,
aku permisi dulu, aku buru-buru ke Bangko.” Kataku.
“Tidak
abang dengar suara rintik, diluar mulai hujan bang.” Kata wanita itu.
“Oh iya,
aku tak tahu kalau diluar sudah hujan. Tadi sebelum naik ke rumah cuaca sangat
cerah.” Ujarku yang baru menyadari bahwa terlihat dari jendela kabut tebal
menyelimuti halaman.
“Istirahat
dulu, sambil menunggu hujan reda. Aku ambilkan sarung agar abang tak kedinginan.”
Katanya sambil melangkah ke kamarnya.
Aku
tertegun sejenak, luar biasa wanita ini, cantik, halus tuturnya serta sangat
perhatian. Aku mulai mabuk kepayang dan berandai-andai seumpama ia menjadi
temanku mengarungi kehidupan.
Tak lama
ia membawakan sebuah sarung dan menyerahkan kepadaku. Kuambil sarung itu
kujadikan sebagai penutup sekeliling kaki hingga leherku.
“Aku
kedapur dulu, makanlah dulu sebelum pergi akan kubuat masakan yang paling enak
buat abang. Kebetulan bapak kemarin menjala ikan dan sudah aku goring akan kuberi
cabe dulu, tunggulah sebentar.” Katanya sambil melangkah ke dapur.
Tiba-tiba
aku melihat seseorang sudah duduk didepanku, ya ini adalah laki-laki yang
mengantarkan aku pulang beberapa hari yang lalu, tapi mengapa tiba-tiba ia sudah
berada didepanku. Dan tersenyum ramah.
“Kardi…”
aku menatap bingung. “sejak kapan kau disini.” Kataku heran.
“kau tak
memperhatikanku? Aku selalu disini, ini rumahku. Teman kau berbicara tadi itu
istriku.” Katanya tersenyum. “baju yang kau pinjam itu bajuku.” Kardi tersenyum
namun sangat kaku dan kosong.
“apa
maksudmu. Dia itu bersuamikah, dan kaukah suaminya?” ucapku gugup dan merasa
bersalah atads perasaanku pada Maryati.
“tak usah
gugup, sebentar lagi dia akan jadi milikmu. Kupercayakan dia padamu.” Kata
Kardi dengan datar dan dingin.
“Jangan
bergurau suami mana yang bilang begitu kecuali kau. Apa kau sudah tak waras.”
Kataku.”
“Ayo ikut
aku, akan kujelskan semuanya.” Kata kardi.
Ia
menraih lenganku, terasa dingin sekali, anehnya aku hanya mengikuti saja apa
yang dikatannya. Mula-mula aku rasa tubuhku melayang, tiba-tiba saja aku merasa
berada disebuah lembah yang sangat dalam. Kulihat sekelilingku hanya rerumputan
dan belukar, aku berada disebuh batu besar dalam sungai kecil yang deras
airnya. Disampingku tebing batu curam yang sangat tinggi. Aku tersentak sebuah
motor tampak rusak parah dihilir sungai tak jauh dari tempatku berada.
“Sekarang
aku disini, sudah hampir tiga tahun aku disini, lihat tubuhku sudah habis
dimakan ulat, tak ada yang tahu aku berada
disini. Itu motorku, sudah berkarat dibeberapa bagiannya. Aku sangat
menyanyangi Maryati. Aku tahu ia hampir saja kehilangan kewarasan semenjak aku
pergi dan tak pulang-pulang. Kini ia tampak bersemangat semenjak kau hadir
dihadapannya. Ia tak lagi bersedih. Seolah kau mengembalikan semangat hidupnya.
Dampingi dia agar dapat bahagia. Aku tak dapat memberikan kebahagiaan lagi
padanya. Semenjak aku pergi aku tak dapat memberitahu padanya apa yang telah
terjadi padaku. Yang orang tahu aku telah meninggalkannya begitu saja.”
Aku
tersentak, Kardi berdiri didepanku tapi kakinya tak menyentuh bumi, ada
kerangka manusia yang terbungkus baju dan jeans yang cabik dibeberapa bagian,
tengkorak kerangka itu tampak retak dari hidung hingga belakangnya.
“Tidak!’
aku memekik ketakutan. “dimana aku ini?” aku sangat takut tubuhku terasa panas
kerpalaku pusing.
“Katakan
aku berada disini kepada orang-orang agar jasadku bisa dikuburkan dangan layak.
Katakana pada mereka tempat ini. Ini Jalan menuju Kerinci, kau pasti ingat
tempat ini karena kau sering melewatinya saat bertugas di Kerinci.” Kata-lata
itu terakhir kudengar kemudian kurasakan dingin dikeningku, seseorang memerciki
keningku dengan air. Kubuka mataku terlihat wanita setengat tua komat-kamit
membaca mantra. Kudengar seisi rumah riuh mereka mengatakan aku kesurupan dan
berteriak-teriak tak jelas. Kulihat Maryati menatap khawatir seraya memijit
kakiku.
“abang
sudah sadar.” Katanya sambil menatapku kahawatir.
Tiba-tiba
sekilas mataku melihat sebuah foto tergantung didinding, aku sangat terkejut
sekaligus takut. Ya itu Foto Kardi. Kututup wajahku sambil berteriak “Tidak!”
kemudian semuanya gelap. Aku tak
sadarkan diri beberapa saat.
Saat aku
sadar, aku lihat istriku duduk disamping Maryati. Dengan salah tingkah aku
mencoba menyapanya.
“Darimana
kau tahu aku disini.” Kataku datar.
“Pak
Muasman menelponku dari Hp abang.” Jawab istriku.
Kulirik
Maryati disamping istruiku. Wanita itu menunduk sambil sesekali menyeka air
matanya.
“Ayo kita
pulang.” Uajarku sambil mencoba bangkit, namun kurasa kondisiku lemah sekali.
Akupun terjatuh sebelum sempat berdiri.
“Istirahatlah
dulu, kita bermalam disini saja. Ini sudah jam sepuluh malam.” Kata Istriku.
Kulihat
Maryati menuangkan air putih ke gelas dan menyodorkan padaku,
“Minum
dulu bang, apa abang mau makan’ ikan goreng tadi sudah aku siapkan ditudung
saji.” Katanya serak.
Tiba-tiba
dadaku sesak, kulihat wajah itu penuh duka, kecantikannya kini terselimut
kabut. Sesekali ia tersedak menahan sedu yang menekan dadanya sedangkan jemari
lentiknya beberapa kali menyeka air mata.
“aku
belum berselera untuk makan.” Kataku.
“Paksakan
makan kau kesurupan arwah tadi. Air yang kau minum itu akan menawar gangguan
jahat yang menguasaimu. Tapi kau perlu makan untuk mengembalikan tenagamu.”
Terdengar suara Pak Muasman yang ternyata dari tapi dekat kepalaku.
“Nanti
saja pak.” Kataku.
“Pakai
jimat ini, agar arwah itu tak lagi mengikutimu.” Kata wanita tua yang tadi
memercikkan air dikeningku.
“Aku tak
suka jumat.” Kataku kurang suka.
“pakai
saja, kini kondisimu darurat.” Kata istriku.
Ku Aku
mengikut saja saat wanita tua itu mengikatnya dilengan kiriku. Aku merasa
mereka memaksaku untuk musrik, namun dalam kondisiku sekarang aku tak mampu
berbuat apa-apa.
Serjak
peristiwa yang menimpaku di rumah Maryati tersebut aku memutuskan untuk tak
lagi mengingat wanita itu. Setidaknya itu aku lakukan untuk menjaga perasaan
istriku yang mulai mencurigai hatiku. Namun perasaanku sendiri yang tak bisa
aku dustai. Siang malam, pagi petang yang terbayang dimataku hanya wanita
tersebut. Pekerjaanku banyak terbengkalai, kinerjaku merosot tajam. Aku banyak
melamun dan kurang gairah dalam bekerja. Sesekali aku mencoba menelpon Maryati
saat istriku tidak didekatku namun Maryati maupun pak Muasman tidak bisa dihubungi,
barangkali mereka sudah berganti nomor. Kadang=kadang bila kerinduanku telah
memuncak aku hanya bisa memandangi gelang jimat yang diikatkan wanita tua di
rumah Maryati dulu.
Waktu
yang berlalu seolah menjadi detak-detak keras yang memukul dada. Kerinduan yang
demikian kuat telah membuat batinku tersiksa dan jasadku merana. Teman-teman
banyak yang mengatakan aku pucat dan kurus akhir-akhir ini. Akupun merasakan
bahwa diriku sering diserang flu atau gangguan kesehatan ringan lain beberapa
waktu terakhir.
Makan tak
enak, tidur tak nyeyak, yang mengasyikkan bagiku hanya membayangkan wajah
wanita bernama Maryati itu. Itu saja. Istriku sering mengoimel perihal
perilakuku ini, namun aku tak dapat lepas juga dari baying-bayang yang terus
menyiksa. Sampai suatu ketika aku berfikir untuk mengakhiri semua itu. Ya aku
harus mengakhirinya. Aku harus tegas menentukan sikap meskipun berhadapan
dengan diriku sendiri. Melawan perasaan adalah sangat berat namun melawan
kenyataan lebih berat lagi. Aku memutuskan untuk menemui Maryati. Aku sangat
rindu padanya. Bahkan aku lebih gila lagi daripada remaja yang digilakan oleh
asmara, setidakntya menurut analisaku sendiri terhadap perasaanku.
Sore itu aku
telah berada diserambi rumah panggung pak Muasman. Kuketuk pintu dan ucapkan
dalam. Terdengar jawaban lemah dari dalam tak lama pintu terbuka. Aku tertegun,
hatiku bergetar. Wajah yang kurindukan berada dihadapan, tersenyum paksa dengan
gurisan kepedihan. Namun yang lebih membuat hatiku hancur kata-kata pertama
yang terdengar ditelingaku,
“Abang
rupanya, mengapa abang pucat sekali dan sangat kurus?” bibir kering itu berkata
lemah dan serak. Ya dia benar dengan penilaiannya terhadapku, tapi bukankah
dirinta juga pucat dan kurus, kecantikannya memudar oleh penderitaan, matanya
terlihat sembab karena sering menangis. Ingin aku memeluknya namun urung
kulakukan karena ia bukanlah istriku, aku hanya jatuh cinta dan rindu padanya.
Sejauh ini dia bukanlah siapa-siapa kecuali wanita yang kukenal bebrapa waktu
terakhir dan tiba-toba aku tergila-gila padanya.
“aku..ah.
sudahlah, boleh aku bicara denganmu sebentar.” Kataku gugup.
“masuklah
dulu, kita bicara didalam.” Katanya lemah.
Aku masuk
dan duduk diruang tengah rumah panggung tersebut. Maryati melangkah kearah
dapur tak lama ia datang dengan secangkir kopi hangat dan duduk tepat
dihadapanku.
“Aku
sudah sebulan sakit bang.” Katanya sambil menatapku tajam.
“Terlihat
dari kondisimu, akupun kurang sehat beberapa waktu terakhir.” Kataku sekenanya.
“Kata
nenak dukun aku diganggu arwah, tapi yang aku rasakan berbeda.” Kata Maryati.
“Apa yang
kau rasakan.” Kataku pelan.
“Minumlah
dulu, nanti kopinya dingin’. Kata Maryati.
Aku
meminum kopi hangat yang dihidangkannya.
“Aku seperti
menginginkan bunga digenggam orang, atau mengharapkan bintang jatuh dipelukan.”
Kata Maryati serak.
“Aku tak
mengerti maksudmu.” Kataku walaupun maknanya sudah bisa kutebak.
“Banyak
orang mengatakan seorang janda sebagai pengacau dalam rumah tangga orang. Tapi
aku lebih mengatakan bahwa cinta bisa saja membuat orang jadi hilang akal sehat
dan tidak akan peduli ia pengacau rumah tangga atau bukan.” Katanya datar.
“aku
semakin bingung Mar. tapi aku tahu bahwa kau sedang berusaha melawan perasaamu
sendiri.” Kataku datar. Tiba-tiba mataku tertumpu pada foto yang ada didinding.
“Dia
suamimu?” tanyaku datar.
“ia bang
ia pergi ke Kerinci beberapa Tahun lalu. Katanya ingin menjumpai orang tuanya,
namun sampai kini bahkan orang tuanyapun tak tahu dimana ia berada.” Kata
Maryati.
“Aku ikut
bersedih.” Kataku simpati.
“tapi aku
tidak lagi merindukannya, aku sudah terbiasa ditinggalkan oleh nya. Empat tahun
berlalu cukuplah bagiku untuk mengeri bahwa ia tak akan pernah kembali lagi
padaku.” Kata Maryati.
“ya aku
mengherti.” Kataku. Aku mulai kebingungan. Apakah aku harus menjelaskan kepada
wanita ini bahwa aku telah diganggu oleh bayangan lelaki di Foto itu dan
menyatakan bahwa ia telah tewas dalam kecelakaan. Tapi apakah yang kualami itu
ada hubungan dengan kenyataan yang dialami wanita ini atau halusinsi saja.
Nenek dukun mengatakan aku diganggu arwah, apakah benar arwah suami Maryati
yang menggangguku. Sementara aku memilih tidak menceritakan pada maryati
pengalaman ghoibku tersebut dan memilih menjelaskan perasaanku padanya.
“aku juga
kehilangan jati diriku Mar, entah mengapa aku jadi bodoh, dangkal dan
kekanak-kanakan semenjak pertama berjumpa dengan dirimu.” Kataku terus terang.
“Ada apa
bang.” Katanya serak.
“aku tahu
aku sudah beristri, tapi semenjak perjumpaan kita terakhir, aku selalu
merindukanmu. Terbayang senyummu dan tak pernah dapat menghilangkan ingatanku
darimu. Maafkan aku. Mungkin aku salah dengan semua perasaanku padamu ini, tapi
aku dating kesini karena tak sanggup lagi melawan persaanku sendiri.” Kataku
datar.
“Jadi
abang juga merasakan apa yang sedang kita rasakan ini tidak benar.” Katanya
sambil menatapku tajam.
“entah
apa kesalahan kita sehingga menerima azab begini rupa.” Kataku serak menahan
kesedihan yang mendalam.
“aku siap
menanggung malu dan cacian orang bila harus dianggap pengganggu rumah tangga
orang bang. Aku siap menanggung apa saja, cukup sekali aku kehilangan laki-laki
yang kusayangi, berjanjilah kau tak akan meninggalkanku…” Maryati tersedu
sambil menutup mukanya dengan kedua tangannya.
Aku
tertegun, dadaku sesak. Aku dihadapkan pada masalah besar. Jelas wanita ini
ternyata memiliki perasaan yang sama dengan apa yang aku rasakan padanya. Namun
aku pria beristri. Istriku sangat menyayangiku dan akupun tergila-gila padanya.
Yang lebih membuatku kaget adalah
kata-kata Maryati barusan kudengar, “siap menanggung apa saja” begitu ucapan
istriku dulu saat aku menanyakan apakah ia bersedia menjadi pendamping hidupku.
Waktu itu
aku telah bertekad menikahinya, aku menjelaskan bahwa aku orang biasa yang tak
akan mampu memberikannya kemewahan. Dengan wajah bahagia ia mengatakan “siap
menanggung apa saja” asal bisa hidup bersamaku. Bedanya istriku dulu berkata
demikian dengan senyum bahagia sedangkan Maryati mengucapkannya dengan deraian
air mata.
Waktu
demi waktu aku kian terbenam dalam perasaanku. Entah mengapa aku merasa kembali
remaja. Hari-hariku dipenuhi rasa rindau pada Maryati. Setiap saat aku terbayang
apa saja yang ada pada dirinya. Bagiku semua yang ada padanya terasa indah.
Luar biasa aku jatuh cinta bagai seorang remaja. Kehilangan logika dan mabuk
dalam angan-angan bahagia yang pada dasarnya tanpa kusadari adalah sebuah
keganjilan. Aku mulai terhanyut dalam arus angan-angan dan bayangan-bayangan
sendiri sehingga sering tidak respek terhadap lingkungan. Dirumah aku sudah
mulai kurang memperhatikan air muka istriku, apakah capek, sedih atau dalam
masalah. Berbeda pada sebelum ini. Aku selalu cepat menangkap setiap emosi yang
dialaminya walaupun hanya dari air mukanya. Misalnya saat ia Lelah, sedih atau
bingung. Kini semuanya tanpa kusadari berubah. Yang ada dalam fikiranku hanya
Maryati, itu saja.
Keadaan
ini kian terasa hingga pada saat aku bekerja konsentrasiku juga berkurang.
Tugas-tugasku banyak tertunda. Atasanku juga sudah beberapa kali memberikan
teguran dan arahan namun aku tak bias berkonsentrasi pada apa saja. Fikiranku
tetap pada angan-angan ingin menikahi Maryati. Terus dan terus. Sehingga aku
seakan telah gagal mengendalikan fikiran dan perasaanku sendiri. Seakan diriku
ditarik dan diarahkan sebuah kekuatan yang bukan berasal dari diriku. Sampai
suatu ketika aku memutuskan untuk berkonsultasi dengan temanku seorang tamatan
jurusan Psikologi.
Pria itu
seusia dengan diriku Namanya Rahmad. Sudah menamatkan Magister Psikologi
bebarapa tahun lalu dan bekerja sebagai guru BK disebuah sekolah negeri di
Bangko.
“Kau
terlalu terbawa oleh suasana mistis daerah Jangkat.” Katanya setelah aku
bercerita tentang keluhan-keluhan yang aku rasakan.
“Bukannya
kau tak percaya pada segala yang berbau mistik.” Ujarku yang sangat tahu bahwa
selama linabelas tahun kamu berkawan si Rahmad ini tak sedikitpun percaya pada
mistik apalagi dukun.
“Begini
kawan, dalam ilmu jiwa ada yang Namanya sugesti yang tercipta spontan. Ini
diakibatkan kita meyakini dan mempercayai sesuatu yang tidak ada itu sebagai
sesuatu yang real. Kepercayaan itu akan membuat kita merasakan sesuatu yang
tidak ada itu seolah nyata. Adakah kau mendengar anak kecil yang bercerita pada
orang tuanya bertemu dengan sosok makhluk halus, itu itu hanya bagian dari
fenomema yang kumaksud. Ini juga kerap terjadi pada orang dewasa. Kusarankan
kau tidak lagi mempercayai hantu, dukun dan sebagainya.” Kata Rahmad sambal
menepuk bahuku.
“Tapi
bagaimana mungkin aku selalu dihantui rasa rindu pada wanita muda itu Mad,
padahal aku sudah beristri, rumah tanggakupun biasa-biasa saja tidak ada
masalah.” Kataku.
“Kau
tersugesti oleh keyakinan bahwa ruh suami wanita itu mengikutimu seperti yang
dikatakan dukun yang mengatakan kau kesurupan arwah itu.” Kata Rahmad.
“Tapi aku
bermimpi bertemu dengan suami wanita itu Mad.” Kataku berat.
“Mimpi
juga berawal dari sugesti kawan. Kusarankan kau memperbanyak istirahat dan
menghabiskan waktu dengan istrimu.” Kata Ragmad. Rahmad kemudian mesuk
kekamarnya kemudian keluar dengan bebrapa pil yang tak aku tahu apa. “Ini
penenang, ini obat tidur, pakailah dengan bijaksana.” Kata Rahmad. Ia
meletakkan ditanganku kemudian dengan jarinya merapatkan jemariku sehingga
menggenggam obat itu.
“Ayo kita
refresing ke karaoke.” Katanya kemudian.
Kami
berangkat ke Tempat Karaoke di kotaku. Sebuah tempat yang bias dibilang mini
diskotik dengan kelengkapan apa adanya. Tak seperti di kota besar yang memiliki
tempat hiburan malam megah. Disini tempat karaole ala kadarnya saja walaupun
juga dilengkapi dengan perempuan penghibur namun ya, sesuai harganya yang
“merakyat” pelayanannya juga ala kadarnya. Meskipun terkesan sangat minim
tempat ini lumayan ramai pengunjung ada yang memang hobi nyanyi ada pula yang
Cuma iseng menyaksikan goyangan para penyanyi wanita yang suaranyapun kalua
dipikir-pikir bukan ngobatin pusing malah nambah pusing karena falls.
Memasuki
tempat karaoke wanita pemandu karaoke yang masih segar dan muda menyambut kami
dengan keramahan palsu yang khas.
“Kita tak
usah minum alkohol” bisik temanku. “sekedar nyanyi kemudian pulang.” Katanya
kemudian.
“Kamu
memang dari dulu anti alcohol, tapi aku pingin sedikit hangat, boleh lah
sedikit.” Kataku.
“aku
bilang jangan. Itu tak baik untuk kondisimu, cobalah melepaskan diri dari
krbiasaan buruk itu.” Katanya agak keras melawan suara hentakan music yang
memekak telinga.
“Kalau
begitu kita cari tempat lain saja, aku tak tahan dengan baunya. Sudah lima
tahun tidak minum dengan rangsangan aroma ini aku sangat ingin lagi
mencicipinya.” Kataku.
“Baik
kita ke warung kopi saja.” Kata Rahmad sambal menarikku keluar.
Kami
keluar dari tempat karaoke, dengan motornya Rahmad membawaku ke sebuah warung
dipinggir jalan.
Setelah
memesan minuman kami duduk dikursi kayu berhadapan. Dibatasi meja yang
menyediakan dua gelas kopi hangat. Aku menyulut rokok. Rahmad temanku tadi
sibuk memainkan Henponnya sepertinya ia sedang membaca sesuatu dengan serius
setelah kuintip kulihat HPnya memaparkan situs sosialita Facebook dan Rahmad
hanya asyik like apa saja yang diposting disana.
“Kau
tidak kecanduan rokok, tidak kecanduan alcohol dan tidak pula suka sastra yang
katamu membuat struktur berfikir tergiring ke imajinasi. Tapi kau sudah
kecanduan social media yang membuat jarakmu jauh dengan orang-orang dekat dan
dekat dengan orang-orang yang jauh darimu.” Kataku mengejek.
“Begitulah
temanku yang satu ini sejak dulu. Sangat respek dengan lingkungan. Punya empati
kuat kepada semua orang dan selalu mencintai kemanusiaan” ujarnya sambal
menunjuk status sesorang dihalaman facebooknya tanpa menolehku seolah tak
mendengar apa yang baru saja kukatakan.
Kulirik
halaman HPnya alangkah terkejutnya aku ketika yang ditunjuknya adalah status
yang kubuat beberapa waktu lalu dihalaman akunku. Waktu itu aku memposting
kalimat “Semua wanita perlu dilindungi dan semua perlindungan memerlukan cinta
dan kasih sayang.”
“kasih
sayang bukan sebuah paksaan, bila kau mencintai seseorang dan memaksa ia harus
jadi milikmu itu justru paksaan.” Kata Rahmad sambal tertawa kecil.
“Hei
kopimu sudah dingin.” Kataku untuk menutupi rasa tersinggungku atas uacapannya
menanggapi status facebookku.
“baiklah,
aku takt ahu metode apa yang baik untuk mengurangi tingkat stress dalam dirimu.
Aku tahu semenjak dulu alcohol itu teman baikmu yang setia tapi atas saranku
juga kau sudah meninggalkannya. Itu sebuah prestasi gemilang. Kini kau telah
bebas dari kecanduan alcohol tapi aku melihat gejala baru yang sedang menghampirimu
yakni kau…” Rahmad tersenyum. “Kata para pujangga minum arak tak memabukkan
disbanding beratnya mabuk yang kau alami. Aku takt ahu Bahasa sastranya pa tapi kini kau mabuk
janda.” Katanya tertawa.
“Aku
menemuimu untuk meringankan beban fikiranku. Kau ahli dibidang itu, waktu
kuliah aku masuk jurusan Pendidikan Bahasa, kau masuk Bimbingan Konseling, kini
kau Berjaya pula dengan Magister Psikologi. Apa salahnya bila kau bagi ilmumu
padauk agar beratnya kudukku oleh persoalan yang tak kumengerti ini terasa ringan.”
Kataku.
“Baiklah
kawan, pernahkah kau melihat rumitnya struktur kabel di gardu induk saluran
listrik?” Katanya.
“Tentu
saja. Kabel yang simpang siur memusingkan kepala berseliweran disana sini
menghubungkan puluhan bahkan ratusan travo, Apa hubungannya dengan aku.” Dengan
nada kecewa atas ucapannya.
“Struktur
logika manusia tak jauh dari itu.” Katanya datar.
“Akum
akin pusing dengan ocehanmu.” Kataku kesal
“Tenang,
dengarkan aku. Satu travo memiliki fungsi yang berbeda denga travo lain. Ada
yang untuk menguatkan arus listrik justru ada yang gunanya untuk melemahkan.
Ada pula untuk membagi. Semua itu bertujuan untuk mensuplai arus listrik secara
baik kepada konsumen.” Ia diam sejenak dan meminum sedikit kopinya.
“Gardu
listrik hanyalah bekerja untuk meningkatkan tegangan arus listrik, melemahkan
atau membaginya. Kini aku jelaskan bahwa benda-benda yang menyala dirumah
dengan bantuan listrik adalah muara dari suplai daya listrik itu. Maaf mungkin
agak membingungkan awalnya tapi kuharap kau sabra dengan penjelasan ini.”Rahmad
mengeluarkan kertas dari sakunya kemudian membentangkannya di meja. “Ini
pembangkit” katanya membuat sebuah illustrasi kotak. Kemudian dibuatnya kotak
lain “ini gardu induk. Ini gardu pembagi arus, ini ampermeter dirumah, ini cok lampu
dan ini cok listrik.” Kata Rahmad, “Aku hunbungkan semuanya. Pada tingkat
pembangkit arus dibuat stabil sesuai kebutuhan kita 220 volt. Namun kekuatan
itu ternyata tak bias menyuplai jauh maka perlu kembali lebih kuat bahkan
ribuan volt itulah sebabnya orang membuat gardu lain yang dihubungkan dengan
jabel tegangan tinggi. Lalu dibuatlah tiang Sutet yang juga menuju gardu
penyetabil tegangan. Disini arus dibagi, sampai dibeberapa titik tegangan sudah
sangat melemah karena panjangnya kabel yang membuatnya jauh dari gardu induk.
Dibuatlah gardu penguat berkapasitas kecil yang juga berfungsi sebagai pembagi
arus. Arus ini yang sampai ke ampermeter dirumah kita. Dirumah ia kemudian
dihubungkan dengan travo lagi. Barulah kemudian disambung ke bola lampu, kosmos
atau mesin cuci bahkan HP dan TV.” Terlihat tangannya asyik menggmbar tiap
benda yang diucapkannya dengan illustrasi sederhana. “kini lihat, saat
dihubungkan dengan TV ia jadi gambar dan suara, di bohlam jadi pancaran cahaya,
dimesin cuci jadi sebuah kekuatan membersihkan baju. Kini jelas semua yang
membantu kita adalah satu saja sebenarnya hanya tegangan listrik pada
intensitas stabil dan harus tetap stabil.” Kata Rahmad sambal tersenyum.
“Kalau
itu anak kecil saja juga tahu.” ujarku mencemooh.
“Aku kembali
ke statusmu tadi, kalau diumpamakan Cinta itu adalah sebuah sumber listrik dan
perasaan yang peka itu adalah kabel. Maka kau perlu membagi daya yang
dipancarkan cinta itu kepada gardu-gardu yang akan membantumu menjaga kekuatan
cinta itu dalam kadar wajar. Saat diujungnya kau mampu pula untuk
menghubungkannya kepada perangkat yang penting, missal kita analogikan kita
perlu penerangan disebuah ruangan dirumah, maka bandingkan dengan istri
misalnya. Bila istri itu bola lampu tanpanya ruang hati kita gelap maka
perlulah kekuatan cinta itu diarahkan pada seorang wanita untuk membuat hidup
berseri dan berbahagia. Tapi kalau penerangan sudah cukup rupanya kita harus
menyalurkan energi itu untuk yang lain misalnya mesin cuci atau pesawat
televisi.” Kata Rahmad.
“Kau
main-main, kau anggap perasaanku ini instalasi listrik.” Kataku kesal, aku
tersinggung dengan logikanya yang mengejek rasa cintaku kepada Maryati. “Baik
aku pulang saja, tak guna aku berkonsultasi denganmu. Mentang-mentang gratis
dapat penjelasan murahan. Selamat tinggal.” Aku melangkah menuju jalanan dan
memanggil ojek. Kusuruh tukang ojek itu segera berangkat. Dari kejauhan
kudengar Rahmad memanggilkudan mengatakan aku salah faham.
Aku
memutuskan untuk tidak lagi menemui Rahmad, semenjak kejadian itu aku memilih
membeli paket Data dalam jumlah besar dan setiap ada waktu aku mengajak Maryati
video Call. Dengan demikian perasaanku tenang apalagi dengan cara ini aku bias
melihat wajah cantiknya meskipun hanya lewat layer HP. Lumayan untuk mengobat rasa
gelisahku yang selalu ingin bertemu dengannya. Bersambung...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar