Sabtu, 23 Maret 2019

NOVELKU


GERIMIS DIUJUNG SENJA
Wiko Antoni
Episode 1



Minggu ini seperti mingu kemarin masih kuulangi perjalanan di hamparan aspal ini. Sudah beberapa kali kalender mencabik akhir Desember. Jalan ini hamper saja aku hafal dimana tikungan tanjakan dan jalan menurun. Nama desa yang ditempuhpun hampir di luar kepala. Ya, kadang jalan ini kutempuhi dalam keadaan hujan, terik, dinihari, senja bahkan pernah diujung perjalananku malam menyelimutinya. Inilah aku, aku yang diriku sendiri tak mengerti mengapa bahagia menjalani cara hidup seperti ini. Rantau Suli-Bangko 144 KM, Bangko Rantau Panjang 34 KM. itu jalur rutinku setiap minggu dan aku asyik dengan perjalanan itu walaupun sepeda motorku kalau pandai bicara akan mengeluh letih karenanya.
Banyak berita tentang jalur yang kutempuh ini mulai dari rawan tindak kekerasan. Kriminalitas hingga soal hantu. Yang bagian kedua ini memang menggelikan dan tak masuk akal namun sebagai manusia kadang aku terfikir juga bila tiba-tiba cerita mistik yang seram dan tak kupercayai itu akan terjadi padaku, terutama bila aku mengendarai motor sendirian saat malam hari atau senja.
Dalam perjalanan senja ini aku memasuki kawasan TNKS yang dulunya hutan lebat, namun kini sudah mulai rusak oleh penebangan liar. Aku mulai was-was kalau-kalau memasuki Muara Maderas nanti aku kemalaman, apalagi desaku Rantau Suli tentu sudah larut. Kini kabut mulai menebal bersama sinar mentari yang kian remang sebentar lagi hujan akan turun. Dingin kian terasa menyengat tubuhku. Aku terus memacu motorku walaupun dalam bayangan cerita-cerita horror yang mistis perjalananku.
Sebagai upaya menghibur diri aku bernyanyi dengan suara lantang, maklum jalan sepi ini memungkinkan aku berteriak sesuka hatiku namun bila ada yang melihat yang aku lakukan ini tentulah mereka menganggap perbuatanku ini tidak waras, namun aku tak peduli yang terpenting adalah ketakukanku akan bayangan cerita-cerita seram yang horror itu bisa kuhapus dari kepalaku.
Lagu demi lagu kunyanyikan, melewati tikungan gelap, tanjakan, jalan menurun hingga jalan lurus. Gerimis mulai terasa menerpa wajahku, lampu sepeda motorku tak mampu menembus kabut tebal. Syukurlah akhirnya daerah sepi itu berlalu, aku memasuki perkebunan rakyat yang mayoritas dihuni petani penggarap dari Seulak Gedang, sebuah kampong di Kerinci. Tak lama aku memasuki Desa Renah Alai, Redup lampu berasal PLTA yang cahanya terhalang kabut tersenyum padaku. Aku berhenti sejenak meraba saku dan mengeluarkan HP  kulirik Jam dari layar HP tersebut terlihat tulisan menunukkan pukul 17. 30. Sudah dapat aku bayangkan aku akan mencapai desaku sekitar satu atau satu setengah jam lagi, aku akan sampai dirumah lebih dari jam 16.30. kurasa itu tak begitu malam disbanding beberapa bulan yang lalu dimana aku tiba dirumahku pukul 22.00.
Kembali kupacu sepeda motorku, aku masuki wilayah Danau Pauh, Koto Jayo terlewati, Lubuk Pungguk, Muara Maderas. Kini tiba diwilayah yang katanya dihuni “mahkluq Ghaib” Bukit Melintang yang dilerengnya tercacaktower Telkomsel.
Memasuki daerah ini kabut kian menebal, sepeda motorku mendaki menuju puncak tanjakan Bukit Melintang ini, gerimis kian deras, kabut kian tebal jarak pandangpun tak cukup sepuluh meter. Cerita horror itu mengusik kepalaku,
“dulu mbo pernah rusak mobil dekat tower, waktu mbo mukul baut, dari puncak bukit terdengar pula ada yang mukul sama persis seperti pukulan mbo.” Begitu cerita Ngah Nafli seorang supir Truk yang masih kerabat denganku.”
Mbodulu pernah dengar suara perempuan tertawa ditikungan menjelang puncak tanjakan Bukit Melintang, waktu itu motor mbo rusak dan mbo terpakasa mendorongnya sampai Koto Renah. Saking takutnya mbo lari ke Koto Renah dan mengajak orang menemani mbo menjemput motor mbo malam itu.” Demikian cerita Pak Su Sobri.
Cerita-cerita itu bermain difikiranku hingga motorku memasuki Tikungan Puncak Tanjakan Bukit Melintang. Bulu kudukku berdiri, degup jantungku mengencang. Bahkan dalam kedinginan kurasa keringatku bercucuran disekujur tubuhku. Kupacu motorku dalam persaan kacau balau dan…
Apa itu… kulihat sesuatu disorot cahaya lampu motorku, samar dihalangi kabut, jantungku berdegup kian keras, bayangan hitam dan…
“Stop! Stop!, Tolong tarik motor mbo, motor mbo tiba-tiba mati.” Kata seseorang yang berdiri ditengah jalan.
kini kulihat seorang lelaki tua basah kuyup berdiri kedinginan, sepertinya aku tak kenal orang ini sama sekali, hantu kah? Ah tidak. Kulihat kakinya tepat menginjak tanah, ini manusia.
“Mana motor bapak?” tanyaku sambil berusaha meredakan rasa takutku.
“Itu.” katanya sambil menyenter ke pinggir jalan
“Baiklah pak, kita cari tali.” Ucapku.
Sesaat kulihat orang itu memasuki semak-semak kemudian membawa seutas tali yang dibuat dari kulit batang sebaru. Segera diikatkannya tali tersebut pada motornya dan pada bagian belakang motorku.
Setelah siap segera kupacu motorku dengan posisi menarik motor lelaki tua tersebut.
Sampai di Koto Renah aku berhenti dan bertanya kemanakan tujuan lelaki tua tersebut ternya beliau hendak ke Dusun Mudo. Karena malam itu tidak ada bengkel yang buka maka aku mengantarkan beliau ke Dusun Mudo. Dari Koto Renah akan melewati Koto Teguh barulah akan sampai di desa tersebut sayangnya mengantar beliau berarti menyimpang dari tujuanku karena seharusnya aku belok kiri menuju Dusun Baru untuk kemudian sampai didesaku Rantau Suli, namun aku harus masuk ke menyimpang ke kiri untuk menju Dusun mudo, padahal hari kian larut, namn hatiku senang juga karena setelah Koto Renah ini ada sebuah tikungan menurun yang diikuti tanjakan panjang yang sepi sebelum memasuki Koto Renah dan tempat itu penuh cerita horror juga, minimal aku punya teman melewati tempat tersebut, dan…itung-itung cari amal demi kemanusiaan…
Sampai di Dusun mudo aku berfikir langsung melanjutkan perjalanan ke Rantau Suli, ternyata orang tua itu mengajak aku singgah di rumahnya, dan untuk menghilangkan letih akupun menerima tawaran beliau.
Mula-mula orang tua itu mempersilahkan aku duduk, kemudian beliau membawakan aku baju kering katanya milik menantunya. Aku senang saja, kupakai baju itu, lalu istrinya keluar dari pintu dapur membawakan kopi hangat, dan… ei siapa itu, seorang wanita berusia sekitar dupuluhan tahun keluar dari kamar dan tersenyum padaku, cukup cantik juga diterangi cahaya redup neon PLTA. Wajahnya memancarkan pesona luar biasa,hidup yang mancung, bibir tipis dan bola mata yang khas. Aku membalas senyumannya sekenanya.
Aku dan bapak itu berbincang-bincang persoalan jalan yang katanya “angker” bapak itu tersenyum saja dan membantah kebenaran cerita yang aku katakana itu. Ia menjelaskan itu hanya isu. Selama ia menempuh pendakian dan penurunan dekat tower Bukit Melintang tak pernah ia mengalami kejadian horror juga ketika menuruni dan mendaki tanjakan nyelai sebelum koto teguh. Bahkan ia pernah melewati tempat tersebut jam tiga malam. “itu hanya cerita saja” ungkapnya.
Pukul dua belas aku berniat pulang, walaupun tuan rumah melarang, aku bersikeras, karena tak enak tidur di rumah orang yang baru aku kenal. Bahkan si “manis mempesona” juga berbasa basi menahanku. Entah mengapa setiap kalimat yang dikeluarkan wanita itu merdu sekali kedengarannya. Tapi aku tetap berniat pulang.
Setelah berterima kasih atas pelayanan mereka aku memacu motorku, setiba dijalan dekat halaman rumah aku dicegat seorang lelaki sebayaku. “Mau Pulang ke Rantau Suli mala mini bang!” kata lelaki tersebut, kulihat raut wajahnya dingin tanpa ekspresi namun cukup tampan juga dengan kumis tipis yang rapi.
“Iya, nggak enak bermalam disini. Merepotkan saja nanti.’ Kataku.
“Lebih baik aku temani.” Kata lelaki tersebut dengan ekspresi masih dingin.
“Tidak usah aku bisa sendiri.” Kataku.
“Ini sudah malam, abang bukan orang asli daerah sini, baiknya aku temani.” Katnya dengan senyuman yang kulihat juga tanpa ekspresi.
“Baiklah, nanti abang pulangnya pakai apa.” Kataku.
“itu motorku.” Katanya menunjuk motor yang diparkir dipinggir jalan. Sumpah aku tadi tak melihat motor itu, sebuah motor besar model baru yang banyak dipakai anak muda sekarang.
“Baiklah, nanti singgah dirumahku. Oh ya nama abang siapa?” tanyaku.
“Kardi.” Katanya singkat.
“Aku Kembara” ujarku mengurkan tangan. Dan… ah dingin dan kaku tangan orang ini bisik hatiku. Dengan berusaha menghilangkan kagetku. Kulepas jabatan tangannya.
“ayo berangkat.” Kataku.
Lelaki itu menaiki motornya, ia didepan dan aku dibelakang, perjalan terasa menyenangkan karena aku merasa ada kawan, Koto Teguh terlewati, Dusun Baru dilalui, Simpang Talang Tembago berlalu sampailah didesaku, Rantau Suli, tepat beberapa meter menjelang rumahku aku ingin berteriak untuk memberitahu bahwa didepan adalah rumahku, tapi motor didepanku lenyap.
Kuinjak rem motorku, kutatap kedepan, tak ada, memang tak ada, jadi kemana motor yang sejak tadi berada didepanku, aku tertegun, bulu kudukku merinding, dengan terburu-buru aku memacu motorku menuju rumahku.
Sampai dirumah, aku memanggil istriku dengan tergesa-gesa, nafasku memburu keringat dingin membahasahi pipi, aku tak bicara apa-apa kemudian berbaring walau kudengar istriku banyak berbicara dan bertanya namun sepertinya tak jelas ditelingaku dan…
“Baliklah kerumah, besok atau lusa mainlah lagi ke Dusun Mudo.” Kardi berdiri dihalaman rumah megah.
“Maksudmu apa!” kataku heran.
“lihat dia.” Kata kardi menunjuk seorang wanita.
Aku terkejut aku melihat wanita cantik yang tadi tersenyum dan berbasa-basi padaku duduk memegang kain putih sampil menangis sehingga air matanya memabasahi kain putih tersebut.
“Kau harus membuatnya berhenti menangis, kembalikan baju itu secepatnya.” Kata kardi.
“tapi…”
“Bang!” terdengar suara istriku. Aku tersentak ternyata tidurku yang sekejap telah dihiasi mimpi yang amat buruk.
 “Ini ada telepon.” Istriku menyerahkan Hp.
Kuangkat telepon terdengar suara lembut dan manja,
“Bapak suruh Tanya, abang sudah sampai rumah apa belum.” Kata suara merdu dari telepon.
Kulihat nama yang tertera di HPku tertulis Pak Muasman, ya itu adalah nama lelaki tua yang motornya kutarik dari pendakian Bukit Melintang sampai Dusun Baru tadi dan suara ini, pastilah wanita yang senyumnya menikam jantungku itu, ternyata wanita ini adalah anak lelaki tua tersebut.
“Su  ssudah, salam buat bapak!” kataku terkesima membayangkan wajahnya yang sungguh memikat hati.
“hei!’ kata istriku sambil menepuk bahuku.
“ei iya ada apa!” kataku kaget.
“Kenapa melamun, suaranya seperti perempuan.” Istriku menatap penuh selidik.
“taka apa-apa itu anak seorang yang tadi aku tolong saat motornya rusak, dia mau Tanya apa aku baik-baik saja sampai dirumah.” Jawabku jujur namun dengan hati berbohong. Bibirku jujur karena menjelaskan faktanya dengan benar hatiku bohong karena aku mulai terbayang senyuman wanita muda itu. Ya bukan hanya terbayang sepertinya aku mulai merindukannya dan..ah tidak mungkin aku adalah seorang laki-laki beristri mana mungkin jatuh cinta pada wanita yang baru kulihat sekali pada malam buta pula. Apa aku sudah gila bisik hatiku.
“Istirahat ya bang!” terdengar suara dari Hp. Lembut bak alunan buluh perindu.
“Ya, selamat malam!” kataku saat melihat tatapan tajam istriku. Aku segera mematikan telepon dan memejamkan mata tapi. Ah saat mataku terpejam wajahnya kian jelas terlihat, hidungnya, bibirnya, pipinya wajahnya yang oval, bibir ah… aku telah terpesona bagai remaja dimabuk cinta.kurasakan selimut menyentuh seluruh tubuhku.
“Istirahatlah, abang berkeringat, sepertinya abang demam.” Kata Istriku yang kudengar saat wajah wanita yang mengganggu fikiranku itu terhampar dimataku yang terpejam.
Waktu berlalu, mata enggan terlelap, senyum itu, suara itu..aku gelisah, rasa ingin melihat wajahnya. Ingin berbincang-bincang dengannya, dan. Ooo istriku sudah tertidur pulas disampingku. Dan aku lupa memikirkannya. Lelaki yang tadi menuntunku dengan motor, kemana perginya. Tapi aku enggan memikirkan keanehan itu aku asyik dengan bayangan wanita muda yang mempesona, mungkin aku telah jatuh cinta, mengapa rasanya bagaikan remaja lagi?
Waktu berlalu bersama bayangan-bayangan yang kusembunyikan. Tiba saatnya aku kembali menjalani rutinitas mingguan, ke Bangko menempuh ratusan kilometre yang membosankan dan, kali ini aneh, aku begitu bersemangat. Begitu enerjik. Ada apa ini. Barangkali karena aku berencana mengembalikan baju yang dipinjamkan padaku ini. Ya pasti karena aku mendapat peluang melihat lagi wajah itu. Wajah yang terus menghiasi lamunan dan bermain-main dipelupuk mataku.
Setelah berpamitan dengan istriku kupacu motorku. Tujuanku yang pertama adalah Dusun Mudo. Aku berniat mengembalikan baju yang dipinjamkan. Sampai di Koto Teguh aku berbelok menuju Dusun Mudo dan berangkat menuju rumah pak Muasman. Sesampai dihalaman rumah terlihat sepi. Aku naik tangga. Rumah didaerah ini adalah rumah panggung, berkali-kali kucapkan salam tak ada jawaban. Akhirnya aku turun dan berniat mengembalikan baju itu besok saja saat aku akan memacu motorku dari arah dalam rumah terdengar suara yang sangat merdu memanggilku, ternyata wajah yang kurindukan itu telah berdiri serambi rumah panggung. Tersenyum dan melambaikan tangannya dengan ekspresi ceria.
Ah.. betapa cantiknya perempuan ini,kulihat pakaiannya sepertinya bukan pakaian sehari-hari begitu rapid an masih sangat baru, rambut yang tertata rapi, pupur tipis diwajah dan gincu merah muda di bibir…ini siang, semuanya jelas. Bahkan ia terlihat sepuluh kali lebih cantik daripada malam saat ia tersenyum didepan pintu kamarnya.
“Naiklah kerumah bang!” katanya tutur berirama, khas gaya irama bahasa desa Dusun Mudo.
Aku turun dari motorku. Kulangkahkan kakiku kea rah rumah, entah mengapa jantungku berdetak keras. Bahkan matanyapun tak sanggup aku tantang, mataku silau oleh bening sinar matanya. Sepertinya aku menantang sinar mentari bila harus bertentang mata dengannya. Sesampaiku didepan tangga kuulurkan baju yang ingin kukembalikan.
“Ini pakaian kemarin, aku berterima kasih sekali.” Kataku sekenanya.
“Naiklah bang, biar aku siapkan minuman.” Kayanya lembut.
“Aku buru-buru mau ke Bangko.” Maaf aku tak bisa singgah.
“Siapa nama abang!” kudengar ia mengucapkan kalimat yang membuat tubuhku bergetar.
“apa bapak belum memberitahu padamu.” Kataku agak tersekat.
“Belum bang.” Katanya sambil tersenyum nakal.
Aduh, bibir yang dikulum itu, senyum nakal dengan ekspresi tubuh yang menantang itu. Aku runtuh, seolah mentari kehilangan cahayanya sekarang semua sinar sang surya telah berpindah kewajah wanita ini. Ah aku bisa gila kalau begini.
“katakana dulu namamu.” Kataku datar.
“Maryati, sekarang katakana nama abang.” Katanya sambil tersenyum dan kembali mengulm bibirnya dan berdiri dengan pose menantang dan nakal. Bahkan pakaian kebaya panjang yang ia pakaipun tak mampu menutupi betapa seksi dan menariknya dirinya pada posisi tersebut. Tubuhnya terlihat sintal, panggul yang sedang, dada yang ideal dengan pinggang yang ramping dan lekuk tubuh yang indah. Aku makin jauh masuk perangkap pesonanya.
“Di Hp bapak ada namaku, lihat saja disana.” Kataku menyembunyikan ketertarikanku padanya yang tak terbendung.
“Kembara ya.” Katanya sambil menatap nakal.
“Baik aku pergi dulu.” Kataku.
“Boleh aku simpan nomor abang di HP aku?” katanya manja.
Aku kaget. Apakah aku bermimpi? Apakah yang kudengar ini nyata. Ah ini benar-benar nyata.
“bo..boleh.” kataku gugup.
“Naiklah kerumah, minum dulu, buatkan kopi yang paling enak untuk abang, kalau tidak buang saja baju yang abang bawa itu dihalaman.” Katanya sambil melirik nakal kemudian masuk kedalam rumah.
Aku naik kerumah. Kulihat tak ada siapapun diruang tengah ini, aku duduk tanpa menunggu dipersilahkan. Tak lama wanita yang mengenalkan dirinnya bernama Maryati ini membawakan aku segelas kopi hangat. Ia duduk dekat sekali denganku sehingga aku semakin gugup.
“Minumlah bang.” Katanya dengan suara mendesah yang dibuat-buat. Desahan ini membuat aku kian tak berdaya menahan kenyataan bahwa aku mulai tergila-gila padanya.
Ku seruput kopi hangat yang diberikannya. Sungguh nikmat sekali kopi tersebut. Kutatap wanita tersebut. Masih saja ia mengulum bibir. Senyum manis dan tatapan yang membuat aku kian tergila-gila. Bila tak ingat dosa ingin rasanya segera kupeluk wanita ini. Sungguh aku sudah lupa daratan. Kecantikannya, sikapnya yang manja dan sederet kekaguman lain menguasai perasaanku padanya.
“Itu kopi kami olah sendiri bang. Aku yang menggoreng dan menumbuknya.” Ucapannya membuatku kaget.
“a.. iya enak sekali rasanya.” Ujarku sekenanya.
“Oh ya, aku permisi dulu, aku buru-buru ke Bangko.” Kataku.
“Tidak abang dengar suara rintik, diluar mulai hujan bang.” Kata wanita itu.
“Oh iya, aku tak tahu kalau diluar sudah hujan. Tadi sebelum naik ke rumah cuaca sangat cerah.” Ujarku yang baru menyadari bahwa terlihat dari jendela kabut tebal menyelimuti halaman.
“Istirahat dulu, sambil menunggu hujan reda. Aku ambilkan sarung agar abang tak kedinginan.” Katanya sambil melangkah ke kamarnya.
Aku tertegun sejenak, luar biasa wanita ini, cantik, halus tuturnya serta sangat perhatian. Aku mulai mabuk kepayang dan berandai-andai seumpama ia menjadi temanku mengarungi kehidupan.
Tak lama ia membawakan sebuah sarung dan menyerahkan kepadaku. Kuambil sarung itu kujadikan sebagai penutup sekeliling kaki hingga leherku.
“Aku kedapur dulu, makanlah dulu sebelum pergi akan kubuat masakan yang paling enak buat abang. Kebetulan bapak kemarin menjala ikan dan sudah aku goring akan kuberi cabe dulu, tunggulah sebentar.” Katanya sambil melangkah ke dapur.
Tiba-tiba aku melihat seseorang sudah duduk didepanku, ya ini adalah laki-laki yang mengantarkan aku pulang beberapa hari yang lalu, tapi mengapa tiba-tiba ia sudah berada didepanku. Dan tersenyum ramah.
“Kardi…” aku menatap bingung. “sejak kapan kau disini.” Kataku heran.
“kau tak memperhatikanku? Aku selalu disini, ini rumahku. Teman kau berbicara tadi itu istriku.” Katanya tersenyum. “baju yang kau pinjam itu bajuku.” Kardi tersenyum namun sangat kaku dan kosong.
“apa maksudmu. Dia itu bersuamikah, dan kaukah suaminya?” ucapku gugup dan merasa bersalah atads perasaanku pada Maryati.
“tak usah gugup, sebentar lagi dia akan jadi milikmu. Kupercayakan dia padamu.” Kata Kardi dengan datar dan dingin.
“Jangan bergurau suami mana yang bilang begitu kecuali kau. Apa kau sudah tak waras.” Kataku.”
“Ayo ikut aku, akan kujelskan semuanya.” Kata kardi.
Ia menraih lenganku, terasa dingin sekali, anehnya aku hanya mengikuti saja apa yang dikatannya. Mula-mula aku rasa tubuhku melayang, tiba-tiba saja aku merasa berada disebuah lembah yang sangat dalam. Kulihat sekelilingku hanya rerumputan dan belukar, aku berada disebuh batu besar dalam sungai kecil yang deras airnya. Disampingku tebing batu curam yang sangat tinggi. Aku tersentak sebuah motor tampak rusak parah dihilir sungai tak jauh dari tempatku berada.
“Sekarang aku disini, sudah hampir tiga tahun aku disini, lihat tubuhku sudah habis dimakan ulat,  tak ada yang tahu aku berada disini. Itu motorku, sudah berkarat dibeberapa bagiannya. Aku sangat menyanyangi Maryati. Aku tahu ia hampir saja kehilangan kewarasan semenjak aku pergi dan tak pulang-pulang. Kini ia tampak bersemangat semenjak kau hadir dihadapannya. Ia tak lagi bersedih. Seolah kau mengembalikan semangat hidupnya. Dampingi dia agar dapat bahagia. Aku tak dapat memberikan kebahagiaan lagi padanya. Semenjak aku pergi aku tak dapat memberitahu padanya apa yang telah terjadi padaku. Yang orang tahu aku telah meninggalkannya begitu saja.”
Aku tersentak, Kardi berdiri didepanku tapi kakinya tak menyentuh bumi, ada kerangka manusia yang terbungkus baju dan jeans yang cabik dibeberapa bagian, tengkorak kerangka itu tampak retak dari hidung hingga belakangnya.
“Tidak!’ aku memekik ketakutan. “dimana aku ini?” aku sangat takut tubuhku terasa panas kerpalaku pusing.
“Katakan aku berada disini kepada orang-orang agar jasadku bisa dikuburkan dangan layak. Katakana pada mereka tempat ini. Ini Jalan menuju Kerinci, kau pasti ingat tempat ini karena kau sering melewatinya saat bertugas di Kerinci.” Kata-lata itu terakhir kudengar kemudian kurasakan dingin dikeningku, seseorang memerciki keningku dengan air. Kubuka mataku terlihat wanita setengat tua komat-kamit membaca mantra. Kudengar seisi rumah riuh mereka mengatakan aku kesurupan dan berteriak-teriak tak jelas. Kulihat Maryati menatap khawatir seraya memijit kakiku.
“abang sudah sadar.” Katanya sambil menatapku kahawatir.
Tiba-tiba sekilas mataku melihat sebuah foto tergantung didinding, aku sangat terkejut sekaligus takut. Ya itu Foto Kardi. Kututup wajahku sambil berteriak “Tidak!” kemudian semuanya  gelap. Aku tak sadarkan diri beberapa saat.
Saat aku sadar, aku lihat istriku duduk disamping Maryati. Dengan salah tingkah aku mencoba menyapanya.
“Darimana kau tahu aku disini.” Kataku datar.
“Pak Muasman menelponku dari Hp abang.” Jawab istriku.
Kulirik Maryati disamping istruiku. Wanita itu menunduk sambil sesekali menyeka air matanya.
“Ayo kita pulang.” Uajarku sambil mencoba bangkit, namun kurasa kondisiku lemah sekali. Akupun terjatuh sebelum sempat berdiri.
“Istirahatlah dulu, kita bermalam disini saja. Ini sudah jam sepuluh malam.” Kata Istriku.
Kulihat Maryati menuangkan air putih ke gelas dan menyodorkan padaku,
“Minum dulu bang, apa abang mau makan’ ikan goreng tadi sudah aku siapkan ditudung saji.” Katanya serak.
Tiba-tiba dadaku sesak, kulihat wajah itu penuh duka, kecantikannya kini terselimut kabut. Sesekali ia tersedak menahan sedu yang menekan dadanya sedangkan jemari lentiknya beberapa kali menyeka air mata.
“aku belum berselera untuk makan.” Kataku.
“Paksakan makan kau kesurupan arwah tadi. Air yang kau minum itu akan menawar gangguan jahat yang menguasaimu. Tapi kau perlu makan untuk mengembalikan tenagamu.” Terdengar suara Pak Muasman yang ternyata dari tapi dekat kepalaku.
“Nanti saja pak.” Kataku.
“Pakai jimat ini, agar arwah itu tak lagi mengikutimu.” Kata wanita tua yang tadi memercikkan air dikeningku.
“Aku tak suka jumat.” Kataku kurang suka.
“pakai saja, kini kondisimu darurat.” Kata istriku.
Ku Aku mengikut saja saat wanita tua itu mengikatnya dilengan kiriku. Aku merasa mereka memaksaku untuk musrik, namun dalam kondisiku sekarang aku tak mampu berbuat apa-apa.
Serjak peristiwa yang menimpaku di rumah Maryati tersebut aku memutuskan untuk tak lagi mengingat wanita itu. Setidaknya itu aku lakukan untuk menjaga perasaan istriku yang mulai mencurigai hatiku. Namun perasaanku sendiri yang tak bisa aku dustai. Siang malam, pagi petang yang terbayang dimataku hanya wanita tersebut. Pekerjaanku banyak terbengkalai, kinerjaku merosot tajam. Aku banyak melamun dan kurang gairah dalam bekerja. Sesekali aku mencoba menelpon Maryati saat istriku tidak didekatku namun Maryati maupun pak Muasman tidak bisa dihubungi, barangkali mereka sudah berganti nomor. Kadang=kadang bila kerinduanku telah memuncak aku hanya bisa memandangi gelang jimat yang diikatkan wanita tua di rumah Maryati dulu.
Waktu yang berlalu seolah menjadi detak-detak keras yang memukul dada. Kerinduan yang demikian kuat telah membuat batinku tersiksa dan jasadku merana. Teman-teman banyak yang mengatakan aku pucat dan kurus akhir-akhir ini. Akupun merasakan bahwa diriku sering diserang flu atau gangguan kesehatan ringan lain beberapa waktu terakhir.
Makan tak enak, tidur tak nyeyak, yang mengasyikkan bagiku hanya membayangkan wajah wanita bernama Maryati itu. Itu saja. Istriku sering mengoimel perihal perilakuku ini, namun aku tak dapat lepas juga dari baying-bayang yang terus menyiksa. Sampai suatu ketika aku berfikir untuk mengakhiri semua itu. Ya aku harus mengakhirinya. Aku harus tegas menentukan sikap meskipun berhadapan dengan diriku sendiri. Melawan perasaan adalah sangat berat namun melawan kenyataan lebih berat lagi. Aku memutuskan untuk menemui Maryati. Aku sangat rindu padanya. Bahkan aku lebih gila lagi daripada remaja yang digilakan oleh asmara, setidakntya menurut analisaku sendiri terhadap perasaanku.
Sore itu aku telah berada diserambi rumah panggung pak Muasman. Kuketuk pintu dan ucapkan dalam. Terdengar jawaban lemah dari dalam tak lama pintu terbuka. Aku tertegun, hatiku bergetar. Wajah yang kurindukan berada dihadapan, tersenyum paksa dengan gurisan kepedihan. Namun yang lebih membuat hatiku hancur kata-kata pertama yang terdengar ditelingaku,
“Abang rupanya, mengapa abang pucat sekali dan sangat kurus?” bibir kering itu berkata lemah dan serak. Ya dia benar dengan penilaiannya terhadapku, tapi bukankah dirinta juga pucat dan kurus, kecantikannya memudar oleh penderitaan, matanya terlihat sembab karena sering menangis. Ingin aku memeluknya namun urung kulakukan karena ia bukanlah istriku, aku hanya jatuh cinta dan rindu padanya. Sejauh ini dia bukanlah siapa-siapa kecuali wanita yang kukenal bebrapa waktu terakhir dan tiba-toba aku tergila-gila padanya.
“aku..ah. sudahlah, boleh aku bicara denganmu sebentar.” Kataku gugup.
“masuklah dulu, kita bicara didalam.” Katanya lemah.
Aku masuk dan duduk diruang tengah rumah panggung tersebut. Maryati melangkah kearah dapur tak lama ia datang dengan secangkir kopi hangat dan duduk tepat dihadapanku.
“Aku sudah sebulan sakit bang.” Katanya sambil menatapku tajam.
“Terlihat dari kondisimu, akupun kurang sehat beberapa waktu terakhir.” Kataku sekenanya.
“Kata nenak dukun aku diganggu arwah, tapi yang aku rasakan berbeda.” Kata Maryati.
“Apa yang kau rasakan.” Kataku pelan.
“Minumlah dulu, nanti kopinya dingin’. Kata Maryati.
Aku meminum kopi hangat yang dihidangkannya.
“Aku seperti menginginkan bunga digenggam orang, atau mengharapkan bintang jatuh dipelukan.” Kata Maryati serak.
“Aku tak mengerti maksudmu.” Kataku walaupun maknanya sudah bisa kutebak.
“Banyak orang mengatakan seorang janda sebagai pengacau dalam rumah tangga orang. Tapi aku lebih mengatakan bahwa cinta bisa saja membuat orang jadi hilang akal sehat dan tidak akan peduli ia pengacau rumah tangga atau bukan.” Katanya datar.
“aku semakin bingung Mar. tapi aku tahu bahwa kau sedang berusaha melawan perasaamu sendiri.” Kataku datar. Tiba-tiba mataku tertumpu pada foto yang ada didinding.
“Dia suamimu?” tanyaku datar.
“ia bang ia pergi ke Kerinci beberapa Tahun lalu. Katanya ingin menjumpai orang tuanya, namun sampai kini bahkan orang tuanyapun tak tahu dimana ia berada.” Kata Maryati.
“Aku ikut bersedih.” Kataku simpati.
“tapi aku tidak lagi merindukannya, aku sudah terbiasa ditinggalkan oleh nya. Empat tahun berlalu cukuplah bagiku untuk mengeri bahwa ia tak akan pernah kembali lagi padaku.” Kata Maryati.
“ya aku mengherti.” Kataku. Aku mulai kebingungan. Apakah aku harus menjelaskan kepada wanita ini bahwa aku telah diganggu oleh bayangan lelaki di Foto itu dan menyatakan bahwa ia telah tewas dalam kecelakaan. Tapi apakah yang kualami itu ada hubungan dengan kenyataan yang dialami wanita ini atau halusinsi saja. Nenek dukun mengatakan aku diganggu arwah, apakah benar arwah suami Maryati yang menggangguku. Sementara aku memilih tidak menceritakan pada maryati pengalaman ghoibku tersebut dan memilih menjelaskan perasaanku padanya.
“aku juga kehilangan jati diriku Mar, entah mengapa aku jadi bodoh, dangkal dan kekanak-kanakan semenjak pertama berjumpa dengan dirimu.” Kataku terus terang.
“Ada apa bang.” Katanya serak.
“aku tahu aku sudah beristri, tapi semenjak perjumpaan kita terakhir, aku selalu merindukanmu. Terbayang senyummu dan tak pernah dapat menghilangkan ingatanku darimu. Maafkan aku. Mungkin aku salah dengan semua perasaanku padamu ini, tapi aku dating kesini karena tak sanggup lagi melawan persaanku sendiri.” Kataku datar.
“Jadi abang juga merasakan apa yang sedang kita rasakan ini tidak benar.” Katanya sambil menatapku tajam.
“entah apa kesalahan kita sehingga menerima azab begini rupa.” Kataku serak menahan kesedihan yang mendalam.
“aku siap menanggung malu dan cacian orang bila harus dianggap pengganggu rumah tangga orang bang. Aku siap menanggung apa saja, cukup sekali aku kehilangan laki-laki yang kusayangi, berjanjilah kau tak akan meninggalkanku…” Maryati tersedu sambil menutup mukanya dengan kedua tangannya.
Aku tertegun, dadaku sesak. Aku dihadapkan pada masalah besar. Jelas wanita ini ternyata memiliki perasaan yang sama dengan apa yang aku rasakan padanya. Namun aku pria beristri. Istriku sangat menyayangiku dan akupun tergila-gila padanya. Yang  lebih membuatku kaget adalah kata-kata Maryati barusan kudengar, “siap menanggung apa saja” begitu ucapan istriku dulu saat aku menanyakan apakah ia bersedia menjadi pendamping hidupku.
Waktu itu aku telah bertekad menikahinya, aku menjelaskan bahwa aku orang biasa yang tak akan mampu memberikannya kemewahan. Dengan wajah bahagia ia mengatakan “siap menanggung apa saja” asal bisa hidup bersamaku. Bedanya istriku dulu berkata demikian dengan senyum bahagia sedangkan Maryati mengucapkannya dengan deraian air mata.
Waktu demi waktu aku kian terbenam dalam perasaanku. Entah mengapa aku merasa kembali remaja. Hari-hariku dipenuhi rasa rindau pada Maryati. Setiap saat aku terbayang apa saja yang ada pada dirinya. Bagiku semua yang ada padanya terasa indah. Luar biasa aku jatuh cinta bagai seorang remaja. Kehilangan logika dan mabuk dalam angan-angan bahagia yang pada dasarnya tanpa kusadari adalah sebuah keganjilan. Aku mulai terhanyut dalam arus angan-angan dan bayangan-bayangan sendiri sehingga sering tidak respek terhadap lingkungan. Dirumah aku sudah mulai kurang memperhatikan air muka istriku, apakah capek, sedih atau dalam masalah. Berbeda pada sebelum ini. Aku selalu cepat menangkap setiap emosi yang dialaminya walaupun hanya dari air mukanya. Misalnya saat ia Lelah, sedih atau bingung. Kini semuanya tanpa kusadari berubah. Yang ada dalam fikiranku hanya Maryati, itu saja.
Keadaan ini kian terasa hingga pada saat aku bekerja konsentrasiku juga berkurang. Tugas-tugasku banyak tertunda. Atasanku juga sudah beberapa kali memberikan teguran dan arahan namun aku tak bias berkonsentrasi pada apa saja. Fikiranku tetap pada angan-angan ingin menikahi Maryati. Terus dan terus. Sehingga aku seakan telah gagal mengendalikan fikiran dan perasaanku sendiri. Seakan diriku ditarik dan diarahkan sebuah kekuatan yang bukan berasal dari diriku. Sampai suatu ketika aku memutuskan untuk berkonsultasi dengan temanku seorang tamatan jurusan Psikologi.
Pria itu seusia dengan diriku Namanya Rahmad. Sudah menamatkan Magister Psikologi bebarapa tahun lalu dan bekerja sebagai guru BK disebuah sekolah negeri di Bangko.
“Kau terlalu terbawa oleh suasana mistis daerah Jangkat.” Katanya setelah aku bercerita tentang keluhan-keluhan yang aku rasakan.
“Bukannya kau tak percaya pada segala yang berbau mistik.” Ujarku yang sangat tahu bahwa selama linabelas tahun kamu berkawan si Rahmad ini tak sedikitpun percaya pada mistik apalagi dukun.
“Begini kawan, dalam ilmu jiwa ada yang Namanya sugesti yang tercipta spontan. Ini diakibatkan kita meyakini dan mempercayai sesuatu yang tidak ada itu sebagai sesuatu yang real. Kepercayaan itu akan membuat kita merasakan sesuatu yang tidak ada itu seolah nyata. Adakah kau mendengar anak kecil yang bercerita pada orang tuanya bertemu dengan sosok makhluk halus, itu itu hanya bagian dari fenomema yang kumaksud. Ini juga kerap terjadi pada orang dewasa. Kusarankan kau tidak lagi mempercayai hantu, dukun dan sebagainya.” Kata Rahmad sambal menepuk bahuku.
“Tapi bagaimana mungkin aku selalu dihantui rasa rindu pada wanita muda itu Mad, padahal aku sudah beristri, rumah tanggakupun biasa-biasa saja tidak ada masalah.” Kataku.
“Kau tersugesti oleh keyakinan bahwa ruh suami wanita itu mengikutimu seperti yang dikatakan dukun yang mengatakan kau kesurupan arwah itu.” Kata Rahmad.
“Tapi aku bermimpi bertemu dengan suami wanita itu Mad.” Kataku berat.
“Mimpi juga berawal dari sugesti kawan. Kusarankan kau memperbanyak istirahat dan menghabiskan waktu dengan istrimu.” Kata Ragmad. Rahmad kemudian mesuk kekamarnya kemudian keluar dengan bebrapa pil yang tak aku tahu apa. “Ini penenang, ini obat tidur, pakailah dengan bijaksana.” Kata Rahmad. Ia meletakkan ditanganku kemudian dengan jarinya merapatkan jemariku sehingga menggenggam obat itu.
“Ayo kita refresing ke karaoke.” Katanya kemudian.
Kami berangkat ke Tempat Karaoke di kotaku. Sebuah tempat yang bias dibilang mini diskotik dengan kelengkapan apa adanya. Tak seperti di kota besar yang memiliki tempat hiburan malam megah. Disini tempat karaole ala kadarnya saja walaupun juga dilengkapi dengan perempuan penghibur namun ya, sesuai harganya yang “merakyat” pelayanannya juga ala kadarnya. Meskipun terkesan sangat minim tempat ini lumayan ramai pengunjung ada yang memang hobi nyanyi ada pula yang Cuma iseng menyaksikan goyangan para penyanyi wanita yang suaranyapun kalua dipikir-pikir bukan ngobatin pusing malah nambah pusing karena falls.
Memasuki tempat karaoke wanita pemandu karaoke yang masih segar dan muda menyambut kami dengan keramahan palsu yang khas.
“Kita tak usah minum alkohol” bisik temanku. “sekedar nyanyi kemudian pulang.” Katanya kemudian.
“Kamu memang dari dulu anti alcohol, tapi aku pingin sedikit hangat, boleh lah sedikit.” Kataku.
“aku bilang jangan. Itu tak baik untuk kondisimu, cobalah melepaskan diri dari krbiasaan buruk itu.” Katanya agak keras melawan suara hentakan music yang memekak telinga.
“Kalau begitu kita cari tempat lain saja, aku tak tahan dengan baunya. Sudah lima tahun tidak minum dengan rangsangan aroma ini aku sangat ingin lagi mencicipinya.” Kataku.
“Baik kita ke warung kopi saja.” Kata Rahmad sambal menarikku keluar.
Kami keluar dari tempat karaoke, dengan motornya Rahmad membawaku ke sebuah warung dipinggir jalan.
Setelah memesan minuman kami duduk dikursi kayu berhadapan. Dibatasi meja yang menyediakan dua gelas kopi hangat. Aku menyulut rokok. Rahmad temanku tadi sibuk memainkan Henponnya sepertinya ia sedang membaca sesuatu dengan serius setelah kuintip kulihat HPnya memaparkan situs sosialita Facebook dan Rahmad hanya asyik like apa saja yang diposting disana.
“Kau tidak kecanduan rokok, tidak kecanduan alcohol dan tidak pula suka sastra yang katamu membuat struktur berfikir tergiring ke imajinasi. Tapi kau sudah kecanduan social media yang membuat jarakmu jauh dengan orang-orang dekat dan dekat dengan orang-orang yang jauh darimu.” Kataku mengejek.
“Begitulah temanku yang satu ini sejak dulu. Sangat respek dengan lingkungan. Punya empati kuat kepada semua orang dan selalu mencintai kemanusiaan” ujarnya sambal menunjuk status sesorang dihalaman facebooknya tanpa menolehku seolah tak mendengar apa yang baru saja kukatakan.
Kulirik halaman HPnya alangkah terkejutnya aku ketika yang ditunjuknya adalah status yang kubuat beberapa waktu lalu dihalaman akunku. Waktu itu aku memposting kalimat “Semua wanita perlu dilindungi dan semua perlindungan memerlukan cinta dan kasih sayang.”
“kasih sayang bukan sebuah paksaan, bila kau mencintai seseorang dan memaksa ia harus jadi milikmu itu justru paksaan.” Kata Rahmad sambal tertawa kecil.
“Hei kopimu sudah dingin.” Kataku untuk menutupi rasa tersinggungku atas uacapannya menanggapi status facebookku.
“baiklah, aku takt ahu metode apa yang baik untuk mengurangi tingkat stress dalam dirimu. Aku tahu semenjak dulu alcohol itu teman baikmu yang setia tapi atas saranku juga kau sudah meninggalkannya. Itu sebuah prestasi gemilang. Kini kau telah bebas dari kecanduan alcohol tapi aku melihat gejala baru yang sedang menghampirimu yakni kau…” Rahmad tersenyum. “Kata para pujangga minum arak tak memabukkan disbanding beratnya mabuk yang kau alami. Aku takt ahu  Bahasa sastranya pa tapi kini kau mabuk janda.” Katanya tertawa.
“Aku menemuimu untuk meringankan beban fikiranku. Kau ahli dibidang itu, waktu kuliah aku masuk jurusan Pendidikan Bahasa, kau masuk Bimbingan Konseling, kini kau Berjaya pula dengan Magister Psikologi. Apa salahnya bila kau bagi ilmumu padauk agar beratnya kudukku oleh persoalan yang tak kumengerti ini terasa ringan.” Kataku.
“Baiklah kawan, pernahkah kau melihat rumitnya struktur kabel di gardu induk saluran listrik?” Katanya.
“Tentu saja. Kabel yang simpang siur memusingkan kepala berseliweran disana sini menghubungkan puluhan bahkan ratusan travo, Apa hubungannya dengan aku.” Dengan nada kecewa atas ucapannya.
“Struktur logika manusia tak jauh dari itu.” Katanya datar.
“Akum akin pusing dengan ocehanmu.” Kataku kesal
“Tenang, dengarkan aku. Satu travo memiliki fungsi yang berbeda denga travo lain. Ada yang untuk menguatkan arus listrik justru ada yang gunanya untuk melemahkan. Ada pula untuk membagi. Semua itu bertujuan untuk mensuplai arus listrik secara baik kepada konsumen.” Ia diam sejenak dan meminum sedikit kopinya.
“Gardu listrik hanyalah bekerja untuk meningkatkan tegangan arus listrik, melemahkan atau membaginya. Kini aku jelaskan bahwa benda-benda yang menyala dirumah dengan bantuan listrik adalah muara dari suplai daya listrik itu. Maaf mungkin agak membingungkan awalnya tapi kuharap kau sabra dengan penjelasan ini.”Rahmad mengeluarkan kertas dari sakunya kemudian membentangkannya di meja. “Ini pembangkit” katanya membuat sebuah illustrasi kotak. Kemudian dibuatnya kotak lain “ini gardu induk. Ini gardu pembagi arus, ini ampermeter dirumah, ini cok lampu dan ini cok listrik.” Kata Rahmad, “Aku hunbungkan semuanya. Pada tingkat pembangkit arus dibuat stabil sesuai kebutuhan kita 220 volt. Namun kekuatan itu ternyata tak bias menyuplai jauh maka perlu kembali lebih kuat bahkan ribuan volt itulah sebabnya orang membuat gardu lain yang dihubungkan dengan jabel tegangan tinggi. Lalu dibuatlah tiang Sutet yang juga menuju gardu penyetabil tegangan. Disini arus dibagi, sampai dibeberapa titik tegangan sudah sangat melemah karena panjangnya kabel yang membuatnya jauh dari gardu induk. Dibuatlah gardu penguat berkapasitas kecil yang juga berfungsi sebagai pembagi arus. Arus ini yang sampai ke ampermeter dirumah kita. Dirumah ia kemudian dihubungkan dengan travo lagi. Barulah kemudian disambung ke bola lampu, kosmos atau mesin cuci bahkan HP dan TV.” Terlihat tangannya asyik menggmbar tiap benda yang diucapkannya dengan illustrasi sederhana. “kini lihat, saat dihubungkan dengan TV ia jadi gambar dan suara, di bohlam jadi pancaran cahaya, dimesin cuci jadi sebuah kekuatan membersihkan baju. Kini jelas semua yang membantu kita adalah satu saja sebenarnya hanya tegangan listrik pada intensitas stabil dan harus tetap stabil.” Kata Rahmad sambal tersenyum.
“Kalau itu anak kecil saja juga tahu.” ujarku mencemooh.
“Aku kembali ke statusmu tadi, kalau diumpamakan Cinta itu adalah sebuah sumber listrik dan perasaan yang peka itu adalah kabel. Maka kau perlu membagi daya yang dipancarkan cinta itu kepada gardu-gardu yang akan membantumu menjaga kekuatan cinta itu dalam kadar wajar. Saat diujungnya kau mampu pula untuk menghubungkannya kepada perangkat yang penting, missal kita analogikan kita perlu penerangan disebuah ruangan dirumah, maka bandingkan dengan istri misalnya. Bila istri itu bola lampu tanpanya ruang hati kita gelap maka perlulah kekuatan cinta itu diarahkan pada seorang wanita untuk membuat hidup berseri dan berbahagia. Tapi kalau penerangan sudah cukup rupanya kita harus menyalurkan energi itu untuk yang lain misalnya mesin cuci atau pesawat televisi.” Kata Rahmad.
“Kau main-main, kau anggap perasaanku ini instalasi listrik.” Kataku kesal, aku tersinggung dengan logikanya yang mengejek rasa cintaku kepada Maryati. “Baik aku pulang saja, tak guna aku berkonsultasi denganmu. Mentang-mentang gratis dapat penjelasan murahan. Selamat tinggal.” Aku melangkah menuju jalanan dan memanggil ojek. Kusuruh tukang ojek itu segera berangkat. Dari kejauhan kudengar Rahmad memanggilkudan mengatakan aku salah faham.
Aku memutuskan untuk tidak lagi menemui Rahmad, semenjak kejadian itu aku memilih membeli paket Data dalam jumlah besar dan setiap ada waktu aku mengajak Maryati video Call. Dengan demikian perasaanku tenang apalagi dengan cara ini aku bias melihat wajah cantiknya meskipun hanya lewat layer HP. Lumayan untuk mengobat rasa gelisahku yang selalu ingin bertemu dengannya. Bersambung...









Tidak ada komentar:

Postingan Populer